Tugas 7 Etika Profesi - Peraturan dan regulasi
Peraturan dan Regulasi
Perkembangan teknologi
yang sangat pesat, membutuhkan pengaturan hukum yang berkaitan dengan
pemanfaatan teknologi tersebut. Sayangnya, hingga saat ini banyak negara belum
memiliki perundang-undangan khusus di bidang teknologi informasi, baik dalam
aspek pidana maupun perdatanya.
Saat ini telah lahir hukum baru yang dikenal dengan
hukum cyber atau hukum telematika. Atau cyber law, secara internasional
digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan
perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum
informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi
(law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan
hukum mayantara.
Di Indonesia, sudah ada UU ITE, UU No. 11 tahun 2008
yang mengatur tentang informasi dan transaksi elektonik, Undang-Undang ini
memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata untuk perbuatan hukum yang
berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi
juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum
(yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia maupun warga negara
asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat
hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas teritorial atau
universal.
REGULASI
KONTEN
Semakin banyaknya Munculnya beberapa kasus “CyberCrime”
di Indonesia, seperti pencurian kartu kredit, hacking beberapa situs, menyadap
transmisi data orang lain, misalnya email, dan memanipulasi data dengan cara
menyiapkan perintah yang tidak dikehendaki ke dalam programmer komputer. Maka
dibuatnya sebuah regulasi konten
1. Keamanan nasional
instruksi pada pembuatan bom, produksi obat/racun
tidak sah, aktivitas teroris
2. protection of minors(Perlindungan pelengkap)
abusive forms
of marketingv
violencev
pornographyv
3. Protection of human dignity(Perlindungan martabat
manusia)
hasutan
kebencian rasialv
diskriminasi
rasialv
4. keamanan ekonomi
penipuanv
instructions on
pirating credit cardsv
scam,
cybercrimev
5. Keamanan indormasi
Cybercrimev
Phisingv
6. Protection of Privacy
7. Protection of Reputation
8. Intellectual Property
Perlunya Peraturan dalam Cyberlaw
Sebagai orang yang sering memanfaatkan internet untuk
keperluaan sehari-hari sebaiknya kita membaca undang-undang transaksi
elektronis yang telah disyahkan pada tahun 2008. Undang undang tersebut dapat
didownload dari website www.ri.go.id yang linknya di sini. Kita dapat langsung
membaca bab VII yang mengatur tentang tindakan yang dilarang.
Permasalahan yang sering muncul adalah bagaimana
menjaring berbagai kejahatan komputer dikaitkan dengan ketentuan pidana yang
berlaku karena ketentuan pidana yang mengatur tentang kejahatan komputer yang
berlaku saat ini masih belum lengkap.
Banyak kasus yang membuktikan bahwa perangkat hukum di
bidang TI masih lemah. Seperti contoh, masih belum dilakuinya dokumen
elektronik secara tegas sebagai alat bukti oleh KUHP. Hal tersebut dapat
dilihat pada UU No8/1981 Pasal 184 ayat 1 bahwa undang-undang ini secara
definitif membatasi alat-alat bukti hanya sebagai keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa saja. Demikian juga dengan
kejahatan pornografi dalam internet, misalnya KUH Pidana pasal 282 mensyaratkan
bahwa unsur pornografi dianggap kejahatan jika dilakukan di tempat umum.
Hingga saat ini, di negara kita ternyata belum ada
pasal yang bisa digunakan untuk menjerat penjahat cybercrime. Untuk kasuss
carding misalnya, kepolisian baru bisa menjerat pelaku kejahatan komputer
dengan pasal 363 soal pencurian karena yang dilakukan tersangka memang mencuri
data kartu kredit orang lain.
PERBEDAAN CYBER LAW DI
BERBAGAI NEGARA
(INDONESIA, MALAYSIA,
SINGAPORE, VIETNAM, THAILAND)
CYBER LAW NEGARA INDONESIA :
Inisiatif untuk
membuat “cyberlaw” di Indonesia sudah dimulai sebelum tahun 1999. Fokus utama
waktu itu adalah pada “payung hukum” yang generik dan sedikit mengenai
transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis
yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya. Karena sifatnya
yang generik, diharapkan rancangan undang-undang tersebut cepat diresmikan dan
kita bisa maju ke yang lebih spesifik. Namun pada kenyataannya hal ini tidak
terlaksana. Untuk hal yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan
digital signature sama seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika
digital signature dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal
seperti electronic commerce (e-commerce), electronic procurement
(e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya.
Namun ternyata dalam perjalanannya ada beberapa
masukan sehingga hal-hal lain pun masuk ke dalam rancangan “cyberlaw”
Indonesia. Beberapa hal yang mungkin masuk antara lain adalah hal-hal yang
terkait dengan kejahatan di dunia maya (cybercrime), penyalah gunaan penggunaan
komputer, hacking, membocorkan password, electronic banking, pemanfaatan
internet untuk pemerintahan (e-government) dan kesehatan, masalah HaKI,
penyalahgunaan nama domain, dan masalah privasi. Penambahan isi disebabkan
karena belum ada undang-undang lain yang mengatur hal ini di Indonesia sehingga
ada ide untuk memasukkan semuanya ke dalam satu rancangan. Nama dari RUU ini
pun berubah dari Pemanfaatan Teknologi Informasi, ke Transaksi Elektronik, dan
akhirnya menjadi RUU Informasi dan Transaksi Elektronik. Di luar negeri umumnya
materi ini dipecah-pecah menjadi beberapa undang-undang.
Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyberlaw
ini yang terkait dengan teritori. Misalkan seorang cracker dari sebuah negara
Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Dapatkah hukum
kita menjangkau sang penyusup ini? Salah satu pendekatan yang diambil adalah
jika akibat dari aktivitas crackingnya terasa di Indonesia, makaIndonesia
berhak mengadili yang bersangkutan. Apakah kita akan mengejar cracker ini ke
luar negeri? Nampaknya hal ini akan sulit dilakukan mengingat keterbatasan
sumber daya yang dimiliki oleh kita. Yang dapat kita lakukan adalah menangkap
cracker ini jika dia mengunjungi Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan
kesempatan / hak untuk mengunjungi sebuah tempat di dunia. Pendekatan ini
dilakukan oleh Amerika Serikat.
CYBER LAW NEGARA MALAYSIA :
Lima cyberlaws telah
berlaku pada tahun 1997 tercatat di kronologis ketertiban. Digital Signature
Act 1997 merupakan Cyberlaw pertama yang disahkan oleh parlemen Malaysia.
Tujuan Cyberlaw ini, adalah untuk memungkinkan perusahaan dan konsumen untuk
menggunakan tanda tangan elektronik (bukan tanda tangan tulisan tangan) dalam
hukum dan transaksi bisnis. Computer Crimes Act 1997 menyediakan penegakan
hukum dengan kerangka hukum yang mencakup akses yang tidak sah dan penggunaan
komputer dan informasi dan menyatakan berbagai hukuman untuk pelanggaran yang
berbeda komitmen. Para Cyberlaw berikutnya yang akan berlaku adalah
Telemedicine Act 1997. Cyberlaw ini praktisi medis untuk memberdayakan
memberikan pelayanan medis / konsultasi dari lokasi jauh melalui menggunakan
fasilitas komunikasi elektronik seperti konferensi video. Berikut pada adalah
Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia 1998 yang mengatur konvergensi
komunikasi dan industri multimedia dan untuk mendukung kebijakan nasional
ditetapkan untuk tujuan komunikasi dan multimedia industri. The Malaysia
Komunikasi dan Undang-Undang Komisi Multimedia 1998 kemudian disahkan oleh
parlemen untuk membentuk Malaysia Komisi Komunikasi dan Multimedia yang
merupakan peraturan dan badan pengawas untuk mengawasi pembangunan dan hal-hal
terkait dengan komunikasi dan industri multimedia.
CYBER LAW NEGARA SINGAPORE :
Cyberlaw di Singapore
The Electronic Transactions Act (ETA) 1998
The Electronic Transactions Act telah ada sejak 10
Juli 1998 untuk menciptakan kerangka yang sah tentang undang-undang untuk
transaksi perdagangan elektronik di Singapore yang memungkinkan bagi Menteri
Komunikasi Informasi dan Kesenian untuk membuat peraturan mengenai perijinan
dan peraturan otoritas sertifikasi di Singapura.
ETA dibuat dengan tujuan :
• Memudahkan komunikasi elektronik atas pertolongan
arsip elektronik yang dapat dipercaya;
• Memudahkan perdagangan elektronik, yaitu
menghapuskan penghalang perdagangan elektronik yang tidak sah atas penulisan
dan persyaratan tandatangan, dan untuk mempromosikan pengembangan dari
undang-undang dan infrastruktur bisnis diperlukan untuk menerapkan menjamin /
mengamankan perdagangan elektronik;
• Memudahkan penyimpanan secara elektronik tentang
dokumen pemerintah dan perusahaan
• Meminimalkan timbulnya arsip alektronik yang sama
(double), perubahan yang tidak disengaja dan disengaja tentang arsip, dan
penipuan dalam perdagangan elektronik, dll;
• Membantu menuju keseragaman aturan, peraturan dan
mengenai pengesahan dan integritas dari arsip elektronik; dan
• Mempromosikan kepercayaan, integritas dan keandalan
dari arsip elektronik dan perdagangan elektronik, dan untuk membantu
perkembangan dan pengembangan dari perdagangan elektronik melalui penggunaan
tandatangan yang elektronik untuk menjamin keaslian dan integritas surat
menyurat yang menggunakan media elektronik.
Didalam ETA mencakup :
• Kontrak Elektronik
Kontrak elektronik ini didasarkan pada hukum dagang
online yang dilakukan secara wajar dan cepat serta untuk memastikan bahwa
kontrak elektronik memiliki kepastian hukum.
• Kewajiban Penyedia Jasa Jaringan
Mengatur mengenai potensi / kesempatan yang dimiliki
oleh network service provider untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan,
seperti mengambil, membawa, menghancurkan material atau informasi pihak ketiga
yang menggunakan jasa jaringan tersebut. Pemerintah Singapore merasa perlu
untuk mewaspadai hal tersebut.
• Tandatangan dan Arsip elektronik
Hukum memerlukan arsip/bukti arsip elektronik untuk
menangani kasus-kasus elektronik, karena itu tandatangan dan arsip elektronik
tersebut harus sah menurut hukum.
Di Singapore masalah tentang privasi,cyber
crime,spam,muatan online,copyright,kontrak elektronik sudah
ditetapkan.Sedangkan perlindungan konsumen dan penggunaan nama domain belum ada
rancangannya tetapi online dispute resolution sudah terdapat rancangannya.
CYBER LAW NEGARA VIETNAM :
Cyberlaw di Vietnam
Cyber crime, penggunaan nama domain dan kontrak
elektronik di Vietnam suudah ditetapkan oleh pemerintah Vietnam sedangkan untuk
masalah perlindungan konsumen privasi,spam,muatan online,digital copyright dan
online dispute resolution belum mendapat perhatian dari pemerintah sehingga
belum ada rancangannya.
Dinegara seperti Vietnam hukum ini masih sangat rendah
keberadaannya,hal ini dapat dilihat dari hanya sedikit hukum-hukum yang
mengatur masalah cyber,padahal masalah seperti spam,perlindungan
konsumen,privasi,muatan online,digital copyright dan ODR sangat penting
keberadaannya bagi masyarakat yang mungkin merasa dirugikan.
CYBER LAW NEGARA THAILAND :
Cyberlaw di Thailand
Cybercrime dan kontrak elektronik di Negara Thailand
sudah ditetapkan oleh pemerintahnya,walaupun yang sudah ditetapkannya hanya 2
tetapi yang lainnya seperti privasi,spam,digital copyright dan ODR sudah dalalm
tahap rancangan.
Kesimpulan
Dalam hal ini Thailand masih lebih baik dari pada
Negara Vietnam karena Negara Vietnam hanya mempunyai 3 cyberlaw sedangkan yang
lainnya belum ada bahkan belum ada rancangannya.
Kesimpulan dari 5 negara yang dibandingkan adalah
Negara yang memiliki cyberlaw paling banyak untuk saat
ini adalah Indonesia,tetapi yang memiliki cyberlaw yang terlengkap nantinya
adalah Malaysia karena walaupun untuk saat ini baru ada 6 hukum tetapi yang
lainnya sudah dalam tahap perencanaan sedangkan Indonesia yang lainnya belum
ada tahap perencanaan.Untuk Thailand dan Vietnam,Vietnam masih lebih unggul
dalam penanganan cyberlaw karena untuk saat ini saja terdapat 3 hukum yang
sudah ditetapkan tetapi di Thailand saat ini baru terdapat 2 hukum yang ditetapkan
tetapi untuk kedepannya Thailand memiliki 4 hukum yang saat ini sedang
dirancang.
UU TELEKOMUNIKASI
DALAM MENGATUR PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI
(UU ITE)
Keterbatasan UU
Telekomunikasi Dalam Mengatur Penggunaan Teknologi Informasi
Didalam UU No. 36 telekomunikasi berisikan sembilan
bab yang mengatur hal-hal berikut ini ; Azas dan tujuan telekomunikasi,
pembinaaan, penyelenggaraan telekomunikasi, penyidikan, sanksi administrasi,
ketentuan pidana, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. Undang-Undang ini
dibuat untuk menggantikan UU No.3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, karena
diperlukan penataan dan pengaturan kembali penyelenggaraan telekomunikasi
nasional yang dimana semua ketentuan itu telah di setujuin oleh DPRRI.
UU ini dibuat karena ada beberapa alasan, salah
satunya adalah bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi
telekomunikasi yang sangat cepat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar
dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi.Dengan munculnya
undang-undang tersebut membuat banyak terjadinya perubahan dalam dunia
telekomunikasi, antara lain :
1.Telekomunikasi merupakan salah satu infrastruktur
penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2.Perkembangan teknologi yang sangat pesat tidak hanya
terbatas pada lingkup
telekomunikasi itu saja, melainkan sudah berkembang
pada TI.
3.Perkembangan teknologi telekomunikasi di tuntut
untuk mengikuti norma dan
kebijaksanaan yang ada di Indonesia.
Apakah ada keterbatasan yang dituangkan dalam UU no.36
Telekomunikasi tersebut dalam hal mengatur penggunaan teknologi Informasi. Maka
berdasarkan isi dari UU tersebut tidak ada penjelasan mengenai batasan-batasan
yang mengatur secara spesifik dalam penggunaan teknologi informasi tersebut,
artinya dalan UU tersebut tidak ada peraturan yang secara resmi dapat membatasi
penggunaan teknologi komunikasi ini. Namun akan lain ceritanya jika kita
mencoba mencari batasan-batasan dalam penggunaan teknologi informasi berbasis
sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara
virtual, maka hal tersebut diatur dalam UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik terutama BAB VII tentang Perbuatan yang Dilarang.
Untuk itu kita sebagai pengguna teknologi informasi dan komunikasi harus lebih
bijak dan berhati-hati lagi dalam memanfaatkan teknologi ini dengan
memperhatikan peraturan dan norma yang ada.
Sebagai contohnya saya akan berikan kasus yang di
dalamnya terdapat keterbatasan UU Telekomunikasi dalam mengatur penggunaan
Teknologi Informasi (UU ITE):
Sekarang kita tahu maraknya carding atau pencurian
kartu kredit diinternet berasal dari Indonesia, hal ini memungkinan Indonesi
adipercaya oleh komunitas ´trust´ internasional menjadi sangat kecil sekali.
Dengan hadirnya UU ITE, diharapkan bisa mengurangi terjadinya praktik carding
di dunia maya. Dengan adanya UU ITE ini, para pengguna kartu kredit di internet
dari negara kita tidak akan di-black list oleh toko-toko online luar negeri.
Sebab situs-situs seperti www.amazon.com selama ini masih mem-back list
kartu-kartu kredit yang diterbitkan Indonesia,karena mereka menilai kita belum
memiliki cyber law. Nah dengan adanya UU ITE sebagai cyber law pertama di
negeri ini,negara lain menjadi lebih percaya atau trust kepada kita Dalam Bab
VII UU ITE disebutkan: Perbuatan yang dilarang pasal27-37, semua Pasal
menggunakan kalimat, ´Setiap orang… dan lain-lain.´ Padahal perbuatan yang
dilarang seperti: spam,penipuan, cracking, virus, flooding, sebagian besar akan
dilakukan oleh mesin olah program, bukan langsung oleh manusia. Banyak yang
menganggap ini sebagai suatu kelemahan, tetapi ini bukanlah suatu kelemahan.
Sebab di belakang mesin olah program yangmenyebarkan spam, penipuan, cracking,
virus, flooding atau tindakan merusak lainnya tetap ada manusianya, the man
behindthe machine.Jadi kita tak mungkin menghukum mesinnya, tapiorang di
belakang mesinnya.
Sumber:
Komentar
Posting Komentar